Latar Belakang
Dalam
dunia yang semakin berkembang ini, sudah pastinya kita sudah sering kali
mendengar kata Risiko dalam kehidupan sehari-hari kita. Risiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun
organisasi. Berbagai macam risiko,
seperti risiko kebakaran, tertabrak kendaraan lain di jalan, risiko terkena
banjir di musim hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan kita menanggung
kerugian jika risikorisiko tersebut tidak kita antisipasi dari awal. Risiko
dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sebagaimana kita pahami dan sepakati
bersama bahwa tujuan perusahaan adalah membangun dan memperluas keuntungan
kompetitif organisasi.
Risiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi karena
kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan
terjadi. Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan
atau merugikan. Menurut Wideman,
ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan
istilah peluang (opportunity),
sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan
istilah risiko (risk). Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen
risiko menjadi trend utama baik dalam perbincangan, praktik, maupun pelatihan
kerja. Hal ini secara konkret
menunjukkan pentingnya manajemen risiko dalam bisnis pada masa kini.
Oleh sebab itu risiko sangat perlu diolah karena risiko
mengandung biaya yang tidak sedikit.
Bayangkan suatu kejadian di mana suatu perusahaan sepatu yang mengalami
kebakaran. Kerugian langsung dari
peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat asset yang terbakar
(misalnya gedung, material, sepatu setengah jadi, maupun sepatu yang siap untuk
dijual). Namun juga dilihat kerugian
tidak langsungnya, seperti tidak bisa beroperasinya perusahaan selama beberapa
bulan sehingga menghentikan arus kas.
Akibat lainnya adalah macetnya pembayaran hutang kepada supplier dan
kreditor karena terhentinya arus kas yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas
dan hubungan baik perusahaan dengan partner bisnis tersebut.
Risiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui
manajemen risiko. Peran dari manajemen
risiko diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya risiko yang sangat berlebihan
yang dapat membuat perusahaan gulung tikar, oleh sebab itu kita perlu melakukan
ha-hal yang lebih terarah, salah satunya dengan mengukur dimensi risiko yang
akan terjadi pada diri sendiri pada khususnya dan pada perusahaan pada umunya.
PENGUKURAN RESIKO
Dimensi yang diukur
Pengukuran
resiko adalah usaha untuk mengetahui besar/kecilnya resiko yang akan terjadi.
Hal ini dilakukan untuk melihat tinggi rendahnya resiko yang dihadapi
perusahaan, kemudian bisa melihat dampak dari resiko terhadap kinerja
perusahaan sekaligus bisa melakukan prioritisasi resiko, resiko yang mana yang
paling relevan. Pengukuran resiko merupakan tahap lanjutan setelah
pengidentifikasian resiko. Hal ini dilakukan untuk menentukan relatif
pentingnya resiko, untuk memperoleh informasi yang akan menolong untuk
menetapkan kombinasi peralatan manajemen
resiko yang cocok untuk menanganinya.
Adapun manfaat
pengukuran resiko yaitu:
1. Untuk menentukan kepentingan relatif
dari suatu risiko yang dihadapi.
2. Untuk mendapatkan informasi yang sangat
diperlukan oleh Manajer Risiko dalam upaya menentukan cara dan kombinasi
cara-cara yang paling dapat diterima/paling baik dalam penggunaan sarana
penanggulangan risiko.
Dalam
pengukuran resiko dimensi yang harus diukur:
1. Frekuensi atau jumlah kejadian yang akan
terjadi
2. Tingkat kegawatan (severity) atau
keparahan dari kerugian Dari hasil
pengukuran yang mencakup dua dimensi tersebut paling tidak diketahui:
a. Nilai rata-rata dari kerugian selama
suatu periode anggaran.
b. Variasi nilai kerugian dari satu periode
anggaran ke periode anggaran yang lain naik-turunnya nilai kerugian dari waktu
ke waktu.
c. Dampak keseluruhan dari
kerugian-kerugian tersebut, terutama kerugian yang ditanggung sendiri
(diretensi), jadi tidak hanya nilai rupiahnya saja.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan dimensi pengukuran tersebut,
antara lain:
1.
Orang
umumnya memandang bahwa dimensi kegawatan dari suatu kerugian potensial lebih
penting dari pada frekuensinya.
2.
Dalam
menentukan kegawatan dari suatu kerugian potensial seorang Manajer Risiko harus
secara cermat memperhitungkan semua tipe kerugian yang dapat terjadi, terutama
dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap situasi finansial perusahaan.
3.
Dalam
pengukuran kerugian Manajer Risiko juga harus memperhatikan orang, harta
kekayaan atau exposures yang lain, yang tidak terkena peril.
4.
Kadang-kadang
akibat akhir dari peril terhadap kondisi finansial perusahaan lebih parah dari
pada yang diperhitungkan, antara lain akibat tidak diketahuinya atau tidak
diperhitungkannya kerugian-kerugian tidak langsung.
5.
Dalam
mengestimasi kegawatan dari suatu kerugian penting pula diperhatikan jangka
waktu dari suatu kerugian, di samping nilai rupiahnya
Pengukuran frekuensi kerugian
Pengukuran
frekuensi kerugian adalah untuk mengetahui berapa kali suatu jenis peril dapat
menimpa suatu jeis objek yang bisa terkena peril selama suatu jangka waktu
terentu, umumnya satu tahun.
Berdasarkan dimensi
frekuensi, ada empat kategori kerugian, yaitu :
1.
Kerugian
yang hampir tidak mungkin terjadi ( almost nill), yaitu resiko yang menurut
pendapat manajer resiko atau kemungkinan terjadinya sangat kecil sekali
(probabilitas terjadinya mendekati nol).
2.
Kerugian
yang kemungkinan terjadinya kecil (sligth), yaitu risiko-risiko yang tidak akan
terjadi dalam waktu dekat dan dimasa yang akan datang kemungkinannya pun kecil.
3.
Kerugian
yang mungkin (moderate), yaitu kerugian-kerugian yang mungkin bisa terjadi
dalam waktu yang dekat di masa yang akan datang.
4.
Kerugian
yang mungkin sekali (definite), yaitu kerugian yang biasanya terjadi secara
teratur, baik dalam waktu dekat maupun dimasa mendatang.
Pengukuran kegawatan kerugian
Pengukuran
kerugian potensil dari dimensi kegawatan adalah untuk mengetahui berapa
besarnya nilai kerugian, yang selanjutnya dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap
kondisi perusahaan, terutama kondisi finansialnya.
Dalam
mengukur kegawatan kerugian potensil, ada tiga hal yang perlu diperhatikan,
yaitu:
1.
Kemungkinan
kerugian maksimum dari setip peril, yaitu besarnya kerugian terburuk dari suatu
peril.
2.
Probabilitas
kerugian maksimum dari setiap peril, yaitu merupakan kemungkinan terburuk yang
mungkin terjadi, yang besarnya lebih rendah dari kemungkinan kerugian maksimum.
3.
Keseluruhan
(agregate) kerugian maksimum setiap tahunnya, yang merupakan keseluruhan
kerugian total yang terbesar, yang dapat menimpa perusahaan selama satu periode
(biasanya satu tahun)
Berdasarkan
demensi kegawatannya ada empat kategori kerugian potensil, yaitu:
1.
Kemungkinan
kerugian yang wajar (normal loss expectancy), yaitu kerugian-kerugian yang
dapat dikelola sendiri oleh perusahaan ataupun oleh umum (perusahaan asuransi)
2.
Probabilitas
kerugian maksimum (probable maximum loss), yaitu kerugian yang dapat terjadi
bila alat pengaman terhadap peril tidak dapat berfungsi.
3.
Kerugian
maksimum yang dapat diduga (maximum foreseeable loss), yaitu kerugian-kerugian
yang tidak dapat diatasi secara individual.
4.
Kemungkinan
kerugian maksimum (maximum possible loss), yaitu kerugian-kerugian yang tidak
dapat diamankan, baik secara individual maupun secara umum (oleh perusahaan
asuransi).
KONSEP PROBABILITAS
Pengukuran
kerugian baik dari dimensi frekuensi dan kegawatan berhubungan dengan
kemungkinan (probabilitas) dari kerugian potensiil tersebut. Untuk melakukan
analisa terhadap kemungkinan dari suatu kerugian potensiil perlu memahami
prinsip dasar teori probabilitas.
Probabilitas
adalah kesempatan atau kemungkinan terjadinya suatu kejadian/ peristiwa.
a.
Konsep
“sample space” dan “event”
Sample Space (Set S) merupakan suatu set dari kejadian tertentu yang
diamati. Misalnya: jumlah kecelakaan
mobil di wilayah tertentu selama periode tertentu. Suatu Set S bisa terdiri
dari beberapa segmen (sub set) atau event (Set E). misalnya : jumlah kecelakaan mobil di atas
terdiri dari segmen mobil pribadi & mobil penumpang umum.
Untuk
menghitung secara cermat probabilitas dari kecelakaan mobil tersebut
masingmasing Set E perlu diberi bobot.
Pembobotan tersebut biasanya didasarkan pada bukti empiris dari
pengalaman masa lalu. Misalnya : untuk mobil pribadi diberi bobot 2, sedang
untuk mobil penumpang umum diberi bobot 1, maka probabilitas dari kecelakaan
mobil tersebut dapat dihitung dengan rumus:
1. bila tanpa bobot :
P (E) = E/S
2.
bila
dengan bobot : P (E) =
Keterangan : P
(E) =
probabilitas terjadinya event.
E = sub set
atau event
S
=
sample space atau set
W
=
bobot dari masing-masing event
b.
Asumsi dalam probabilitas
1. Bahwa kejadian atau event tersebut akan
terjadi.
2. Bahwa kejadian-kejadian adalah saling
pilah, artinya dua event tersebut (kecelakaan mobil pribadi dan mobil penumpang
umum tidak akan terjadi secara bersamaan.
Asumsi diatas membawa
kita pada “hukum penambahan” yang menyatakan bahwa total probabilitas dari 2
event atau lebih dari masing-masing event yang saling pilah tersebut.
3. Bahwa pemberian bobot pada masing-masing
event dalam set adalah positif, sebab besarnya probabilitas akan berkisar
antara event yang pasti terjadi probabilitasnya 1, sedangkan event yang pasti
tidak terjadi probabilitasnya 0.
c. Panafsiran Tentang Probabilitas
Tafsiran
yang pertama yaitu timbulnya tafsiran tentang probabilitas 1/10. Penafsiran
tersebut berdasarkan :
1. Misalnya saja gudang. Gudang yang
dikatakan sama atau serupa pada kenyataannya tidak pernah persis serupa.
Misalnya walaupun sama tetapi berbeda lokasi, konstruksinya dan perawatannya.
2. Kondisi bisa berubah peninjauan masa lalu itu menyediakan sebagaian dasar
untuk suatu penafsiran probabilitas kerugian.
Penafsiran
yang kedua sangat berfaedah dalam
menetapkan tindakan yang diambil berkenaan dengan exposure tersebut:
1. Peristiwa yang saling pilah ( mutually
exclusive event)
Dua peristiwa yang dikatakan
saling pilah adalah apabila terjadinya peristiwa yang satu menyebabkan tidak
terjadinya peristiwa yang lainnya
2. Compound event Adalah terjadinya dua
atau lebih peristiwa terpisah selama dalam jangka waktu yang sama.metode untuk
menentukan suatu compound outcome tergantung atas apakah outcomes terpisah itu
merupakan peristiwa yang bebas.
3. Peristiwa bersyarat ( conditional
outcomes ) Bagaimana jika dua peristiwa yang terpisah itu tidak bebas maka
perhitungan compound probabilitas lebih rumit.
4. Peristiwa yang insklusif, Misalkan kita berhadapan dengan dua atau lebih peristiwa
yang tidak mempounyai hubungan saling pilah dan kita menginginkan mengetahui
probabiklitas terjadinya paling sedikit satuc peristiwa diantara dua peristiwa
atau lebih itu. Jika peristiwa itu lebih dari dua maka proses perhitungannya
lebih rumit. Maka dari itu disini akan disajikan hanya probabilitas bahwa paling sedikit satu dari peristiowa
tersebut itu yang akan terjadi.
Jika peristiwa A dan
peristiwa B merupakan peristiwa yang terpisah, maka probabilitas terjadi paling
sedikit satu peristiwa adalah jumlah kedua probabilitas terjadinya A atau B
dikurangi dengan probabilitas terjadinya kedua peristiwa tersebut : P ( A atau
B ) = P (A) + P (B) – P ( A atau B ).
d. Aksioma Definisi Probabilitas
Probabilitas
adalah suatu nilai/angka yang besarnya berkisar antara 0 sampai 1, yang
diberikan pada masing-masing event. Jumlah hasil penambahan keseluruhan
probabilitas dari event-event (Set E) yang saling pilah dalam sample space (Set
S) adalah 1. Probabilitas suatu event yang terdiri dari sekelompok event yang
saling pilah dalam suatu set (sample space) merupakan hasil penjumlahan dari
masing-masing probablitas yang terpisah.
e. Nilai Harapan (Expected
Value)
Expected
value dari suatu event dapat ditentukan dengan membuat tabel (tabel binomial) untuk
hasil-hasil yang mungkin diperoleh dari menilai masing-masing hasil tersebut
berdasarkan probabilitasnya. Dengan menjumlahkan hasil dari masing-masing event
akan diperoleh expected valuenya.
Contoh:
diketahui bahwa dari 100 buah rumah kemungkinan terbakarnya satu rumah adalah
27% dan rata-rata kerugian untuk setiap kebakaran adalah Rp 100.000.000,-.
Maka
expected lossnya adalah Rp 27.000.000,- (27% x Rp 100.000.000,-).
Bila
kemungkinan terbakarnya dua rumah adalah 19%, maka expected lossnya: Rp. 38jt (19%x2xRp100.000.000,-).
Sehingga expected loss untuk satu rumah sebesar Rp 19jt.
Kemudian
bila kemungkinan terbakarnya sepuluh rumah adalah sebesar 1% maka expected
lossnya adalah
1% x 10 x Rp 100.000.000,- = Rp 10 jt
Maka
expected loss untuk satu rumah sebesar Rp 1.000.000,-
Konsep
expected value
Konsep
expected value sering ditemui terutama di dunia bisnis.
Misalnya:
seorang kontraktor diminta membangun sebuag gedung dimana jika semuanya
berjalan baik ia akan mendapat keuntungan sebesar Rp 10.000.000.000,-
Karena
menyadari selalu ada hal-hal yang tidak terduga, maka probabilitas utk
mendapatkan keuntungan diperkirakan hanya 80%, dimana yang 20% adalah
pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga.
Jadi
expected value dari pekerjaan tersebut sebesar Rp 6.000.000.000,-
Kasus Gagal Bayar Bakrie Life
Kasus
Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa
yang merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal
(umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena
produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito
per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi
unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life)
diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total
mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya
penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan.
Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak
menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie,
sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis
global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar
Harapan, 17 September 2009).
Kronologis Peristiwa Kasus Gagal Bayar Bakrie Life
Awalnya,
kasus gagal bayar ini bermula dari krisis keuangan yang mendera pasar modal
pada akhir 2008. Bakrie Life yang terlalu agresif dengan menempatkan 80% dana
investasinya ke portofolio saham ternyata merugi investasi besar-besaran.
Kondisi itu makin diperparah dengan redemption atau penarikan dana
besar-besaran polis tradisional karena krisis kepercayaan pemegang polis di
tengah krisis. Diamond Investa, salah satu produk Bakrie Life, memberikan janji
imbal hasil atau return tinggi dan kemungkinan pemegang polis bisa dengan mudah
menarik dananya saat masa garansi investasi habis tanpa terkena penalti.
Imbasnya perseroan akhirnya tak mampu menambal kerugian investasi itu yang
menyebabkan gagal bayar manfaat investasi produk asuransi itu mencapai Rp350 miliar
sejak Juli 2009—Agustus 2009. Sekitar 600 nasabah, yang sebagian besar nasabah
individu meminta pengembalian investasi mereka. Nasabahnya beragam mulai dari
nasabah yang ‘menggadaikan’ uang dana pensiun milik orang tuanya hingga sengaja
‘memarkir’ dana milik saudara ke produk itu. Pemerintah, dalam hal ini
Bapepam-LK—yang kini bertransformasi menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan
pemegang saham lalu meminta manajemen Bakrie Life agar bernegosiasi dengan
nasabah mengenai mekanisme penjadwalan ulang pembayaran dana. Sayang, hingga
batas waktu negosiasi yang ditetapkan belum berhasil diperoleh kesepakatan
penuh dengan 100% nasabah. Proses selanjutnya berjalan. Akhirnya diperoleh
mekanisme baru yakni nasabah mendapatkan 25% pada 2010, 2011 diperoleh 25%, dan
sisanya dibayarkan pada 2012, meski ada beberapa pemegang polis yang belum
setuju. Skema itu juga memuat perjanjian mengenai bunga yang dibayar setiap
bulan senilai 9,5%, yang akan dijalankan mulai triwulan I/2010. Bunga ini turun
dari perjanjian semula sebesar 12%-13%. Nasabah produk Diamond Investasi ini
sekitar 600 orang dengan total dana sekitar Rp350 miliar, seluruhnya berasal
dari nasabah individu. Adapun nasabah produk asuransi tradisional Bakrie Life
sebanyak 30.000 orang dengan total dana antara Rp175 miliar--Rp200 miliar.
Kurangnya Tindakan Tegas Oleh Bapepam-LK
Mencuatnya
kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian
Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan
manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi,
dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui
penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku
regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life.
Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK
terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life
dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai
polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan
melapor ke Kepolisian. Kasus Bakrie Life, dan juga kasus Antaboga Sekuritas,
adalah contoh betapa lemahnya aspek pengawasan dan penindakan yang seharusnya
dilakukan Bapepam-LK. Sebagai otoritas pasar modal dan lembaga keuangan
non-bank, Bapepam-LK berfungsi sebagai regulator dan pengawas yang diberi
wewenang khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karenanya,
guna mengatasi hambatan penegakan hukum di sektor keuangan, Pemerintah dan DPR
perlu membentuk lembaga pengawas independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
paling lambat 31 Desember 2010 sebagaimana amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia
(UU 23/ 1999 juncto UU 3/ 2004). Pembentukan OJK akan mengambil alih fungsi
pengawasan yang selama ini dijalankan BI dan Bapepam-LK.
Perlunya
Pembenahan Aturan Hukum
Kasus
Bakrie Life juga memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di
bidang asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU
Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti
perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.Pada
saat pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah
menyertakan RUU Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen
undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana
pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3
Tahun 2004 dan yang lainnya sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi
infrastruktur, Pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi
Bapepam-LK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia.(Rijanta Triwahjana, 2008). Kelemahan aturan dalam UU 2/ 1992
meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut : a) UU 2/ 1992 belum mencantumkan
secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas regulator dan pengawas
perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan. b) UU 2/ 1992 belum
mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida. c) UU 2/ 1992 belum
mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi. d) UU 2/ 1992
belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya
penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi. Kelemahan
pertama dapat diatasi dengan membuat UU tentang Bapepam-LK sehingga kedudukan
Bapepam-LK lebih independen (tidak lagi di bawah Menteri Keuangan) sehingga
kedudukannya setara dengan Bank Indonesia. DiAmerika Serikat, lembaga pengawas
pasar modal dan pengawas perusahaan asuransi berdiri sendiri-sendiri dan
berstatus independen karena tidak bertanggung-jawab kepada Menteri Keuangan.
Kelemahan pertama ini juga dapat diatasi melalui pembentukan lembaga superbody
seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang independen dan bertugas mengawasi
seluruh perusahaan di sektor jasa keuangan. Pola pengawasan model OJK mirip
dengan pola pengawasan yang diterapkan di Inggris.Kelemahan kedua dapat diatasi
dengan merevisi UU 2/ 1992 dengan memasukkan aturan pemasaran produk asuransi
hibrida serta ketentuan kerjasama pemasaran produk jasa keuangan. Ketentuan
semacam ini diperlukan guna menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum,
sehingga kegiatan tersebut tidak sampai merugikan nasabah asuransi seperti pada
kasus Bakrie Life. Penempatan portofolio investasi dalam asuransi unit-link
juga harus diatur dan dibatasi seperti halnya ketentuan BMPK di perbankan.
Kelemahan ketiga dan keempat dapat diatasi dengan membuat aturan pembentukan
lembaga penjaminan dana nasabah asuransi, yaitu lembaga yang cara kerjanya
mirip LPS. Pembentukan lembaga ini dapat diatur dalam bentuk UU tersendiri,
atau dalam bentuk amandemen UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti
LPS, lembaga ini sebaiknya juga diberi peran sebagai penyelamat maupun
likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Jika Pemerintah dan DPR lebih
memilih opsi pembentukan OJK, maka peran lembaga ini cukup sebatas melakukan
usaha penjaminan dana nasabah asuransi.
Prinsip Manajemen Risiko Menurut ISO:31000
ISO 31000 adalah suatu standar implementasi manajemen risiko
yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization pada
tanggal 13 November 2009. Standar ini ditujukan untuk dapat diterapkan dan
disesuaikan untuk semua jenis organisasi dengan memberikan struktur dan pedoman
yang berlaku generik terhadap semua operasi yang terkait dengan manajemen
risiko. Menurut ISO 31000, manajemen risiko suatu organisasi harus mengikuti 11
prinsip dasar agar dapat dilaksanakan secara efektif.
Berikut
penjabaran prinsip-prinsip tersebut.
1. Manajemen
risiko menciptakan nilai tambah (creates value)
Manajemen risiko berkontribusi terhadap pencapaian nyata
objektif dan peningkatan, antara lain, kesehatan dan keselamatan manusia,
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, penerimaan publik, perlindungan
lingkungan, kinerja keuangan, kualitas produk, efisiensi operasi, serta tata
kelola dan reputasi perusahaan.
2. Manajemen
risiko adalah bagian integral proses dalam organisasi (an integral part of
organizational processes)
Manajemen risiko adalah bagian tanggung jawab manajemen
dan merupakan suatu bagian integral dalam proses normal organisasi seperti juga
merupakan bagian dari seluruh proses proyek dan manajemen perubahan. Manajemen
risiko bukanlah merupakan aktivitas yang berdiri sendiri yang terpisah dari
aktivitas-aktivitas utama dan proses dalam organisasi.
3. Manajemen
risiko adalah bagian dari pengambilan keputusan (part of decision making)
Manajemen risiko membantu pengambil keputusan mengambil
keputusan dengan informasi yang cukup. Manajemen risiko dapat membantu
memprioritaskan tindakan dan membedakan berbagai pilihan alternatif tindakan.
Pada akhirnya, manajemen risiko dapat membantu memutuskan apakah suatu risiko
dapat diterima atau apakah suatu penanganan risiko telah memadai dan efektif.
4. Manajemen
risiko secara eksplisit menangani ketidakpastian (explicitly addresses
uncertainty)
Manajemen risiko menangani aspek-aspek ketidakpastian
dalam pengambilan keputusan, sifat alami dari ketidakpastian itu, dan bagaimana
menanganinya.
5. Manajemen
risiko bersifat sistematis, terstruktur, dan tepat waktu (systematic, structured and
timely)
Suatu pendekatan sistematis, tepat waktu, dan terstruktur
terhadap manajemen risiko memiliki kontribusi terhadap efisiensi dan hasil yang
konsisten, dapat dibandingkan, serta andal.
6. Manajemen
risiko berdasarkan informasi terbaik yang tersedia (based on the best available
information)
Masukan untuk proses pengelolaan risiko didasarkan oleh
sumber informasi seperti pengalaman, umpan balik, pengamatan, prakiraan, dan
pertimbangan pakar. Meskipun demikian, pengambil keputusan harus terinformasi
dan harus mempertimbangkan segala keterbatasan data atau model yang digunakan
atau kemungkinan perbedaan pendapat antar pakar.
7. Manajemen
risiko dibuat sesuai kebutuhan (tailored)
Manajemen risiko diselaraskan dengan konteks eksternal
dan internal organisasi serta profil risikonya.
8. Manajemen
risiko memperhitungkan faktor manusia dan budaya (takes human and cultural
factors into account)
Manajemen risiko organisasi mengakui kapabilitas,
persepsi, dan tujuan pihak- pihak eksternal dan internal yang dapat mendukung
atau malah menghambat pencapaian tujuan organisasi.
9. Manajemen
risiko bersifat transparan dan inklusif (transparent and inclusive)
Pelibatan para pemangku kepentingan, terutama pengambil
keputusan, dengan sesuai dan tepat waktu pada semua tingkatan organisasi,
memastikan manajemen risiko tetap relevan dan mengikuti perkembangan. Pelibatan
ini juga memungkinkan pemangku kepentingan untuk cukup terwakili dan
diperhitungkan sudut pandangnya dalam menentukan kriteria risiko.
10. Manajemen
risiko bersifat dinamis, iteratif, dan responsif terhadap perubahan (dynamic, iterative and
responsive to change)
Seiring dengan timbulnya peristiwa internal dan
eksternal, perubahan konteks dan pengetahuan, serta diterapkannya pemantauan
dan peninjauan, risiko-risiko baru bermunculan, sedangkan yang ada bisa berubah
atau hilang. Karenanya, suatu organisasi harus memastikan bahwa manajemen
risiko terus menerus memantau dan menanggapi perubahan.
11. Manajemen
risiko memfasilitasi perbaikan dan pengembangan berkelanjutan organisasi (facilitates continual
improvement and enhancement of the organization)
Organisasi harus mengembangkan dan mengimplementasikan
strategi untuk memperbaiki kematangan manajemen risiko mereka bersama
aspek-aspek lain dalam organisasi mereka.
Prinsip – Prinsip Manajemen Risiko
1. Transparansi
Prinsip ini mensyaratkan agar seluruh potensi risiko yang
ada pada suatu aktivitas, khususnya transaksi, dibeberkan secara terbuka.
Risiko yang tersembunyi/disembunyikan akan menjadi sumber permasalahan terbesar
dan, per definisi, tidak akan dapat dikelola dengan baik.
2. Pengukuran yang Akurat
Prinsip ini mewakili sisi sains dari konsep Manajemen
Risiko, dan mensyaratkan investasi berkesinambungan untuk berbagai teknik dan
alat yang akan digunakan sebagai syarat dari proses Manajemen Risiko yang kuat.
3. Informasi Berkualitas yang Tepat Waktu
Prinsip ini akan turut menentukan akurasi pengukuran dan
kualitas keputusan yang diambil. Sebaliknya tidak terpenuhinya prinsip ini bisa
membawa manajemen pada suatu keputusan yang berisiko fatal.
4. Diversifikasi
Sistem Manajemen Risiko yang baik menempatkan konsep
diversifikasi sebagai sesuatu yang penting untuk dicermati. Hal ini menuntut
pola pemantauan yang konstan dan konsisten. Asumsinya adalah bahwa konsentrasi
(Risiko) dapat muncul setiap saat seiring dengan berbagai perubahan yang
terjadi di dunia.
5. Independensi
Berdasarkan prinsip independensi, keberadaan suatu
kelompok Manajemen Risiko yang independen makin dianggap sebagai suatu
keharusan. Prinsip ini tidak sekedar berbicara tentang kewenangan dan level
tanggung jawab dari kelompok Manajemen Risiko dan kelompok/unit lainnya dalam
perusahaan, melainkan juga tentang tentang visi perusahaan dan kualitas
interrelasi antara kelompok Manajemen Risiko dengan kelompok/unit lainnya, dan
juga antar kelompok/unit yang melaksanakan transaksi dengan mengambil risiko
tertentu.
6. Pola Keputusan yang Disiplin
Porsi sains dalam konsep Manajemen Risiko memang telah
memberikan banyak kontribusi bagi kemampuan Manajemen Risiko dalam melakukan
pengukuran risiko namun kualitas keputusan tetap saja tergantung pada bagaimana
manajemen memutuskan cara terbaik untuk menggunakan alat/teknik tertentu dan
memahami keterbatasan yang dimiliki oleh alat/teknik tersebut.
7. Kebijakan
Prinsip ini mensyaratkan bahwa tujuan dan strategi
Manajemen Risiko suatu perusahaan harus dirumuskan dalam sebuah Policy, Manual
& Procedure yang jelas. Policy harus secara jelas menjabarkan dan
mendefiniskan filosofi Manajemen Risiko perusahaan dan menyediakan keseluruhan
pendekatan yang digunakan serta organisasi dari proses pengambilan Risiko.
Tujuan utama dari hal tersebut adalah untuk memberikan kejelasan mengenai proses
Manajemen Risiko, baik untuk pihak internal maupun untuk pihak eksternal
seperti regulator dan para analis.
Prinsip-prinsip tersebut di atas akan menjadi penentu
arah dalam menyusun suatu kerangka kerja, suatu model Manajemen Risiko yang
handal. Lebih jauh, prinsip-prinsip tersebut juga akan menjadi penentu
keberhasilan dari penerapan model Manajemen Risiko dalam suatu perusahaan.
Tanpa pemahaman mendalam serta konsistensi dalam menggunakan prinsip-prinsip
tersebut, maka penyusunan dan penerapan suatu model Manajemen Risiko tidak akan
memberikan nilai tambah yang seharusnya dapat diperoleh.