Wednesday, February 14, 2024

Prinsip Dasar dalam Asuransi

 

Asuransi adalah perjanjian antara perusahaan asuransi dan pemegang polis (tertanggung) untuk mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi dengan pembayaran premi yang dilakukan pemegang polis. Tujuan asuransi adalah untuk memberikan perlindungan atau proteksi dari kemungkinan risiko yang dapat menimbulkan kerugian finansial atau non-finansial.

Dalam dunia asuransi, ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (pemegang polis atau nasabah). Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menjaga keadilan, kejujuran, dan keseimbangan dalam hubungan antara penanggung dan tertanggung. Berikut ini adalah enam prinsip dasar asuransi yang perlu diketahui:

Prinsip Insurable Interest

Prinsip ini menjelaskan bahwa seseorang diberikan hak untuk mengasuransikan sesuatu karena terdapat hubungan keluarga atau ekonomi yang mendasarinya. Hak ini otomatis timbul setelah adanya perjanjian yang sering disebut polis dan telah memiliki dasar hukum.

Contoh prinsip insurable interest adalah ketika seseorang mengambil asuransi jiwa untuk dirinya sendiri atau anggota keluarganya, seperti suami, istri, anak, atau orang tua. Hal ini karena seseorang memiliki kepentingan finansial atau emosional terhadap orang-orang tersebut. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti kematian atau cacat, maka seseorang akan mendapatkan manfaat asuransi dari perusahaan asuransi.

Prinsip Utmost Good Faith

Prinsip ini memiliki arti yaitu niat atau itikad baik. Maksudnya adalah, dalam proses membeli produk asuransi, baik tertanggung maupun penanggung harus menyampaikan informasi dengan terbuka, rinci, dan jujur.

Contoh prinsip utmost good faith adalah ketika tertanggung harus menjawab dengan jujur beberapa pertanyaan pada screening risiko sebelum membuat kesepakatan, seperti penyakit bawaan, aktivitas merokok, pengalaman dirawat di rumah sakit, dan lain-lain. Hal ini untuk memudahkan penanggung dalam menentukan premi dan syarat-syarat polis yang sesuai dengan kondisi tertanggung.

Sebaliknya, penanggung juga harus menyampaikan detail produk dan tidak menutup-nutupi informasi yang harus diketahui tertanggung, seperti manfaat, kewajiban, batasan, pengecualian, dan klaim asuransi.

Prinsip Indemnity

Prinsip ini sering juga disebut sebagai prinsip ganti rugi. Perusahaan asuransi selaku penanggung harus memberikan ganti rugi kepada tertanggung sesuai dengan kesepakatan pada perjanjian atau polis. Kemudian, nilai tanggungan harus sesuai dengan nilai klaim yang sudah diajukan tanpa pengurangan atau penambahan nilai.

Contoh prinsip indemnity adalah ketika seseorang mengambil asuransi kendaraan bermotor dan mengalami kecelakaan yang menyebabkan kerusakan pada kendaraannya. Maka, perusahaan asuransi akan membayar biaya perbaikan kendaraan tersebut sesuai dengan nilai pertanggungan yang telah disepakati sebelumnya.

Prinsip Subrogasi

Prinsip ini berkaitan dengan kondisi di mana kerugian yang dialami tertanggung disebabkan oleh pihak ketiga (orang lain). Jika melihat pada pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pihak ketiga yang bersalah harus mengganti kerugian tertanggung.

Namun, jika tertanggung telah menerima ganti rugi dari perusahaan asuransi, maka hak untuk menuntut pihak ketiga tersebut beralih kepada perusahaan asuransi. Hal ini disebut dengan subrogasi, yaitu pengalihan hak tuntutan dari tertanggung kepada penanggung.

Contoh prinsip subrogasi adalah ketika seseorang mengambil asuransi rumah dan rumahnya terbakar karena ulah tetangganya. Maka, perusahaan asuransi akan membayar ganti rugi kepada tertanggung sesuai dengan nilai pertanggungan. Kemudian, perusahaan asuransi berhak untuk menuntut tetangga tersebut atas kerugian yang telah ditimbulkannya.

Prinsip Cessi

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip subrogasi. Prinsip cessi adalah pengalihan hak klaim dari penanggung kepada tertanggung. Hal ini terjadi ketika penanggung tidak dapat atau tidak mau membayar klaim yang diajukan oleh tertanggung.

Contoh prinsip cessi adalah ketika seseorang mengambil asuransi kredit dan tidak dapat melunasi kreditnya karena mengalami kecelakaan yang menyebabkan cacat permanen. Maka, perusahaan asuransi akan membayar sisa kredit tersebut kepada pemberi kredit (bank). Kemudian, perusahaan asuransi berhak untuk menagih sisa kredit tersebut kepada tertanggung.

Prinsip Contributio

Prinsip ini berlaku ketika seseorang mengasuransikan suatu objek pada lebih dari satu perusahaan asuransi dengan nilai pertanggungan yang sama atau berbeda. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan lebih atau menghindari kerugian total jika terjadi risiko.

Namun, jika terjadi klaim, maka setiap perusahaan asuransi harus membayar ganti rugi sesuai dengan proporsi nilai pertanggungan yang diambil oleh tertanggung. Hal ini disebut dengan contributio, yaitu pembagian tanggung jawab antara perusahaan asuransi.

Contoh prinsip contributio adalah ketika seseorang mengambil asuransi rumah pada dua perusahaan asuransi dengan nilai pertanggungan masing-masing Rp 100 juta dan Rp 50 juta. Jika rumah tersebut mengalami kerusakan akibat bencana alam sebesar Rp 75 juta, maka perusahaan asuransi pertama akan membayar Rp 50 juta dan perusahaan asuransi kedua akan membayar Rp 25 juta. (*)

Pemindahan Risiko kepada Perusahaan Asuansi

 

Asuransi merupakan suatu kegiatan pemindahan atau pengalihan risiko untuk mencegah terjadinya hal yang tak terduga yang disebabkan oleh risiko-risiko tertentu (Mark R. Green, MD), Risiko yang dimaksud tersebut diantaranya berupa risiko kematian, risiko kecelakaan, risiko sakit, risiko kerusakan, risiko kebakaran, risiko kehilangan dan lain-lain.

 

Asuransi merupakan salah satu alternatif untuk mengalihkan dan mengendalikan risiko finansial dari hal-hal yang tidak diinginkan. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting perannya karena dari kegiatan perlindungan risiko, perusahaan asuransi menghimpun dana masyarakat dari penerimaan premi. Oleh karena itu, untuk mengatasi semua risiko yang berasal dari para tertanggungnya perusahaan asuransi membutuhkan dana yang cukup besar untuk menutupi semua tanggungan tersebut, sehingga perusahaan bisa tetap mendapatkan keuntungan yang diharapkan.

 

 Asuransi menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah sebuah perjanjian antara penyedia jasa layanan asuransi sebagai penanggung dan masyarakat yang memegang polis dan dikenal sebagai tertanggung yang yang diwajibkan untuk membayar sejumlah premi dalam rangka memberikan penggantian atas risiko kerugian, kerusakan, kematian, dan kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin terjadi atas peristiwa yang tak terduga. Usaha perasuransian merupakan

salah satu bentuk lembaga keuangan bukan bank yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung (nasabah asuransi) agar apabila terjadi sesuatu dengan yang diasuransikan tersebut di masa mendatang, pihak tertanggung akan memperoleh uang untuk mengganti (mengurangi) kerugian yang terjadi dari pihak penanggung (lembaga asuransi).

Setiap perusahaan dalam menjalankan berbagai kegiatan usahanya tidak terlepas dari tujuannya yaitu untuk memperoleh laba yang maksimal dalam kelangsungan hidup perusahaan. Kelangsungan hidup perusahaan dipengaruhi oleh banyak hal antara lain profitabilitas perusahaan itu sendiri. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aset maupun modal sendiri (Sartono, 2010). Kinerja yang baik umumnya dapat dilihat melalui Profitabilitas atau jumlah aset industri asuransi dari suatu laporan keuangan perusahaan. Profitabilitas secara umum didefinisikan sebagai kemampuan bisnis untuk memanfaatkan aset untuk menghasilkan pendapatan dengan cara yang efisien.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas yang diukur dengan ROA diantaranya adalah meliputi premium growth ratio, hasil investasi dan ukuran perusahaan. Premium growth ratio (PGR) memberikan gambaran tentang besar kecilnya perubahan perolehan premi netto tahun saat ini dibanding tahun sebelumnya. Hasil dari aktivitas perusahaan akan terefleksi pada perolehaan premi. Premi merupakan pembayaran sejumlah uang yang dilakukan pihak tertanggung kepada penanggung untuk mengganti suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan akibat timbulnya perjanjian atas pemindahan risiko dari tertanggung kepada penanggung.

Semakin besar kepercayaan nasabah terhadap perusahaan, maka akan semakin tinggi perolehan premi yang dikumpulkan. Premi itulah yang kemudian dikelola oleh perusahaan

asuransi untuk diinvestasikan dan disiapkan untuk pembayaran klaim (Investor, 2012). Rasio Pertumbuhan Premi atau Premium Growth Ratio (PGR) yang tinggi akan meningkatkan nilai ROA. Menurut Grand Theory yang dikemukakan oleh Keown (2005), semakin tinggi risiko, semakin tinggi return yang akan diterima begitu pula sebaliknya, penelitian ini menduga bahwa Premium. Growth Ratio (PGR) berpengaruh\ terhadap Return On Assets (ROA) pada perusahaan asuransi.

Rendahnya pertumbuhan laba pada suatu perusahaan menunjukkan tingkat profitabilitas perusahaan juga rendah. Profitabilitas pada hakikatnya merupakan indikator sebuah perusahaan yang bersumber pada kinerja perusahaan tersebut. Selain dari sisi penilaian kesehatan, perusahaan asuransi juga diharapkan memperoleh keuntungan dari kegiatan operasinya sehingga perusahaan dapat berkembang dan maju. Kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan (profitabilitas) yang diukur dengan ROA merupakan salah satu factor penting bagi pemilik dan pemegang saham.

Sumber pendapatan perusahaan asuransi salah satunya adalah dari hasil investasi, karena kegiatan operasional perusahaan asuransi dengan menginvestasikan asset-assetnya agar menghasilkan laba bagi perusahaan. Selain itu hasil investasi juga digunakan untuk menutup beban klaim yang tinggi, maka dari itu perusahaan asuransi sangat mengandalkan hasil investasinya agar perusahaan asuransi tetap bias beroperasional. Hasil investasi yang tinggi akan menambah jumlah profit yang diperoleh perusahaan sehingga jika perusahaan mendapatkan laba maka profitabiltasnya akan naik dengan begitu modal perusahaan akan bertambah sehingga jumlah asset perusahaan juga akan  bertambah. Tentunya perusahaan memiliki kewajiban akan hal tersebut untuk mengelolanya agar dana tersebut dapat berproduktif (Abdullah,2006). Menurut Lawrence dan Michael, hasil investasi adalah kumpulan bentuk investasi terpadu yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan investasi.

 

Tujuan utama hasil investasi adalah mendapatkan tingkat pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang kecil untuk memenuhi kewajiban baik kepada pemegang polis maupun untuk pertumbuhan perusahaan dan penelitian yang dilakukan Fira Agustin dkk (2018) hasil investasi yang tinggi akan menambah jumlah profit yang diperoleh perusahaan sehingga jika perusahaan mendapatkan laba maka profitabiltasnya akan naik dengan begitu modal perusahaan akan bertambah sehingga jumlah asset perusahaan juga akan bertambah. (*)

Pengendalian Risiko (Risk Control)

 PENDAHULUAN

 

Resiko berhubungan dengan ketidakpastian ini dikarenakan kurangnya informasi atau bahkan tidak tersedianya cukup informasi mengenai apa yang akan terjadi. Sesuatu yang tidakpasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah risiko (risk). Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen resiko menjadi trend utama baik dalam perbincangan, praktik, maupun pelatihan kerja. Hal ini secara konkret menunjukkan pentingnya manajemen resiko dalam bisnis pada masa kini.

 

Oleh sebab itu resiko sangat perlu diolah karena resiko mengandung biaya yang tidak sedikit. Bayangkan suatu kejadian di mana suatu perusahaan tekstile yang mengalami kebakaran. Kerugian dari peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat asset yang terbakar, juga tidak dapat beroperasinya perusahaan selama beberapa bulan sehingga menghentikan arus kas. Akibat lainnya adalah macetnya pembayaran hutang kepada supplier dan kreditor karena terhentinya arus kas yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas dan hubungan baik perusahaan dengan partner bisnis tersebut.

 

Resiko dapat dikurangi melalui pengelolaan manajemen resiko yang baik. Salah satunya dengan menerapkan 5 langkah manajemen risiko yang akan dijelaskan dalam makalah ini, dan mengenai pengelolaan manajemen risiko.

 

Jika suatu organisasi menghadapi risiko, maka ada beberapa alternatif untuk mengendalikan risiko tersebut.

 

PENGENDALIAN RISIKO (RISK CONTROL)

 

Pengendalian resiko (risk control) adalah suatu tindakan untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian.

 

Metode pengendalian risiko dalam dilakukan dengan beberapa metode Berikut ini:

 

1. Penghindaran risiko (Risk Avoidance)

 

Salah satu cara mengendalikan suatu risiko murni adalah

menghindari harta, orang, atau kegiatan dari exposure terhadap risiko

dengan jalan :

·         Menolak memiliki, menerima atau melaksanakan kegiatan itu walaupun hanya untuk sementara.

·         Menyerahkan kembali risiko yang terlanjur diterima, atau segera menghentikan kegiatan begitu kemudian diketahui mengandung risiko.

·         Jadi menghindari risiko berarti menghilangkan risiko itu.

 

Karakteristik Dasarnya

 

Beberapa karakteristik penghindaran risiko seharusnya

diperhatikan:

·           Boleh jadi tidak ada kemungkinan menghindari risiko, makin luas risiko yang dihadapi, maka makin besar ketidamungkinan menghindarinya, misalnya kalau ingin menghindari semua risiko tanggung jawab, maka semua kegiatan perlu dihentikan.

·           Faedah atau laba potensial yang bakal diterima dari sebab pemilikan suatu harta, memperkerjakan pegawai tertentu, atau bertanggung jawab atas suatu kegiatan, akan hilang, jika dilaksanakan pengendalian risiko.

·           Makin sempit risiko yang dihadapi, maka akan semakin besar kemungkinan akan tercipta risiko yang baru, misalnya menghindari risiko pengangkutan dengan kapal dan menukarnya dengan pengankutan darat, akan timbul risiko yang berhubungan dengan pengangkutan darat.

 

Implementasi dan Evaluasi hasilnya

 

Untuk mengimplementasikan keputusan penghindaran risiko, maka harus diadakan penetapan semua harta, personil, atau kegiatan yang menghadapi risiko yang ingin dihindarkan tersebut. Dengan dukungan pihak manajemen puncak, maka manajer risiko

seharusnya menganjurkan policy dan prosedur tertentu yang harus diikuti oleh semua bagian perusahaan dan pegawai.

 

Penghindaran risiko dikatakan berhasil jika tidak ada terjadi kerugian yang disebabkan risiko yang ingin dhindarkan itu. Sesungguhnya metode itu tidak diimplementasikan sebagaimana mestinya, jika ternyata larangan-larangan yang telah diinstruksikan itu ternyata dilanggar walau kebetulan tidak terjadi kerugian

 

2. Pengendalian risiko (Risk Control)

 

a)     Pengendalian kerugian dijalankan dengan :

b)     Merendahkan kans (chance) untuk terjadinya kerugian.

c)     Mengurangi keparahan jika kerugian itu memang terjadi.

d)     Menurut lokasi daripada kondisi-kondisi yang akan dikontrol.

e)     Menurut timing-nya.

 

Pengendalian kerugian menurut sebab-sebab terjadinya

 

Secara tradisional tekhnik pengendalian kerugian diklasifikasikan menurut pendekatan yang dilakukan:

 

a) Pendekatan engineering

 

Pendekatan engineering menekankan kepada sebab-sebab yang bersifat fisikal dan mekanikal misalnya memperbaiki kael listrik yang tidak memenuhi syarat, pembuangan limbah yang tidak memenuhi ketentuan, konstruksi bangunan dan bahan dengan kualitas buruk dan sebagainya.

 

b) Pendekatan hubungan kemanusiaan ( human relations )

 

Pendekatan human ralation menekankan sebab-sebab kecelakaan yang berasal dari faktor manusia, seperti kelengahan, suka menghadang bahaya, sengaja tidak memakai alat pengaman yang diharuskan, dan lain-lain faktor psikologis.

 

Pengendalian Kerugian Menurut Lokasi

 

Tindakan pengendalian risiko dapat pula diklasifikasikasi menurut lokasi daripada kondisi yang direncanakan untuk dikendalikan. Dr. Haddon menegaskan bahwa kemungkinan dan keparahan kerugian dari kecelakaan lalu-lintas tergantung atas kondisi-kondisi dalam :

·         Orang yang mempergunakan jalan

·         Kendaraan

·         Lingkungan umum jalan raya yang melingkupi faktor-faktor seperti desain, pemeliharaan, keadaan lalu lintas, dan praturan.

 

Pengendalian Menurut Timming

 

Pendekatan ini mempertanyakan apakah metode itu dipakai :

a) Sebelum kecelakaan.

b) Selama kecelakaan terjadi.

c) Sesudah kecelakaan itu.

 

Klasifikasi ini telah dipergunakan juga sebagai kriteria untuk membedakan antara minimization dan salvage. Tindakan pencegahan kerugian (berdasarkan definisi) semuanya dilaksanakan sebelum kejadian.

 

3. Pemisahan

 

Yang dimaksud dengan pemisahan disini ialah menyebabkan harta yang menghadapi risiko yang sama, menggantikan penempatan dalam satu lokasi. Misalnya jika banyak mempunyai truk, maka tindakan pemisahan dilakukan dengan menempatkannya dalam beberapa pool yang berlainan, menempatkan barang persediaan tidak dalam satu gudang saja, tapi dipisahkan dalam dua atau lebih. Maksud pemisahan ini adalah mengurangi jumlah kerugian untuk satu peristiwa. Dengan menambah banyaknya independent exposure unit maka probabilitas kerugian-harapan diperkecil. Jadi, memperbaiki kemampuan perusahaan untuk meramalkan kerugian yang akan dialami.

 

4. Kombinasi atau pooling

 

Kombinasi atau Pooling menambah banyaknya exposure unit dalam batas kendali perusahaan yang bersangkutan, dengan tujuan agar kerugian yang akan dialami lebih dapat diramalkan, jadi risiko dikurangi.

 

Salah satu cara perusahaan mengkombinasikan risiko adalah dengan perkembangan internal. Misalnya, perusahaan angkutan memperbanyak jumlah truknya ; satu perusahaan merger dengan perusahaan lain ; perusahaan asuransi mengkombinasikan risiko murni dengan jalan menanggung risiko sejumlah besar orang atau perusahaan.

 

 

5. Pemindahan risiko

 

Pemindahan risiko dapat dilakukan dengan tiga cara :

a) Harta milik atau kegiatan yang menghadapi risiko dapat dipindahkan kepada pihak lain, baik dinyatakan dengan tegas, maupun berikut dengan transaksi atau kontrak.

Contoh:

 

Perusahaan yang menjual salah satu gedungnya, dengan sendirinya telah memindahkan risiko yang berhubungan dengan pemilikan gedung itu kepada pemilik baru. Ada perusahaan yang menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada kontraktor, dengan tujuan untuk memindahkan segala risiko yang berhubungan dengan

pekerjaan itu.

 

b) Risiko itu sendiri yang dipindahkan.

Contoh :

Pada suatu kasus persewaan gedung, penyewa mungkin sanggup mengalihkan kepada pemilik berkenaan tanggung jawab kerusakan gedung karena kealpaan si penghuni.

 

Contoh yang dikemukakan diatas transfree memaafkan transfertor dari tanggung jawab, karena itu exposure itu sendirilah yang dihilangkan.

 

c) Suatu risk financing transfer menciptakan suatu loss exposure untuk transferee. Pembatalan perjanjian itu oleh transferee dapat dipandang sebagai cara ketiga dalam risk control transfer. Dengan pembatalan itu, transferee tidak bertanggung jawab secara hukum untuk kerugian yang semula ia setujui, untuk dibayar.

 

KARAKTERISTIK MANAJEMEN RISIKO YANG BAIK

 

Manajemen Risiko yang baik membuat suatu organisasi mampu mengelola risiko dengan baik, sehingga kerugian yang signifikan bisa terhindar.

 

Secara umum, manajemen risiko yang baik mencakup beberapa elemen yaitu :

1. Memahami bisnis perusahaan

2. Formal, sistematis, terintegrasi, dan komprehensif

3. Mengembangkan infrastuktur risiko

4. Menetapkan mekanisme kontrol

5. Menetapkan batas (limits)

6. Memfokuskan pada aliran kas

7. Menetapkan sistem insentif yang tepat

8. Mengembangkan budaya sadar risiko (*)

PRINSIP-PRINSIP PENGUKURAN RISIKO

 

Latar Belakang

Dalam dunia yang semakin berkembang ini, sudah pastinya kita sudah sering kali mendengar kata Risiko dalam kehidupan sehari-hari kita. Risiko merupakan bagian dari kehidupan kerja individual maupun organisasi.  Berbagai macam risiko, seperti risiko kebakaran, tertabrak kendaraan lain di jalan, risiko terkena banjir di musim hujan dan sebagainya, dapat menyebabkan kita menanggung kerugian jika risikorisiko tersebut tidak kita antisipasi dari awal. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sebagaimana kita pahami dan sepakati bersama bahwa tujuan perusahaan adalah membangun dan memperluas keuntungan kompetitif organisasi.

Risiko berhubungan dengan ketidakpastian ini terjadi karena kurang atau tidak tersedianya cukup informasi tentang apa yang akan terjadi.  Sesuatu yang tidak pasti (uncertain) dapat berakibat menguntungkan atau merugikan.  Menurut Wideman, ketidakpastian yang menimbulkan kemungkinan menguntungkan dikenal dengan istilah peluang (opportunity), sedangkan ketidakpastian yang menimbulkan akibat yang merugikan disebut dengan istilah risiko (risk).  Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen risiko menjadi trend utama baik dalam perbincangan, praktik, maupun pelatihan kerja.  Hal ini secara konkret menunjukkan pentingnya manajemen risiko dalam bisnis pada masa kini.

Oleh sebab itu risiko sangat perlu diolah karena risiko mengandung biaya yang tidak sedikit.  Bayangkan suatu kejadian di mana suatu perusahaan sepatu yang mengalami kebakaran.  Kerugian langsung dari peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat asset yang terbakar (misalnya gedung, material, sepatu setengah jadi, maupun sepatu yang siap untuk dijual).  Namun juga dilihat kerugian tidak langsungnya, seperti tidak bisa beroperasinya perusahaan selama beberapa bulan sehingga menghentikan arus kas.  Akibat lainnya adalah macetnya pembayaran hutang kepada supplier dan kreditor karena terhentinya arus kas yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas dan hubungan baik perusahaan dengan partner bisnis tersebut.

Risiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen risiko.  Peran dari manajemen risiko diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya risiko yang sangat berlebihan yang dapat membuat perusahaan gulung tikar, oleh sebab itu kita perlu melakukan ha-hal yang lebih terarah, salah satunya dengan mengukur dimensi risiko yang akan terjadi pada diri sendiri pada khususnya dan pada perusahaan pada umunya.

 

PENGUKURAN RESIKO

Dimensi yang diukur

Pengukuran resiko adalah usaha untuk mengetahui besar/kecilnya resiko yang akan terjadi. Hal ini dilakukan untuk melihat tinggi rendahnya resiko yang dihadapi perusahaan, kemudian bisa melihat dampak dari resiko terhadap kinerja perusahaan sekaligus bisa melakukan prioritisasi resiko, resiko yang mana yang paling relevan. Pengukuran resiko merupakan tahap lanjutan setelah pengidentifikasian resiko. Hal ini dilakukan untuk menentukan relatif pentingnya resiko, untuk memperoleh informasi yang akan menolong untuk menetapkan  kombinasi peralatan manajemen resiko yang cocok untuk menanganinya.

Adapun manfaat pengukuran resiko yaitu:

1.      Untuk menentukan kepentingan relatif dari suatu risiko yang dihadapi.

2.      Untuk mendapatkan informasi yang sangat diperlukan oleh Manajer Risiko dalam upaya menentukan cara dan kombinasi cara-cara yang paling dapat diterima/paling baik dalam penggunaan sarana penanggulangan risiko.

Dalam pengukuran resiko dimensi yang harus diukur:

1.      Frekuensi atau jumlah kejadian yang akan terjadi

2.      Tingkat kegawatan (severity) atau keparahan dari kerugian  Dari hasil pengukuran yang mencakup dua dimensi tersebut paling tidak diketahui:

a.    Nilai rata-rata dari kerugian selama suatu periode anggaran.

b.    Variasi nilai kerugian dari satu periode anggaran ke periode anggaran yang lain naik-turunnya nilai kerugian dari waktu ke waktu.

c.    Dampak keseluruhan dari kerugian-kerugian tersebut, terutama kerugian yang ditanggung sendiri (diretensi), jadi tidak hanya nilai rupiahnya saja.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan dimensi pengukuran tersebut, antara lain:

1.        Orang umumnya memandang bahwa dimensi kegawatan dari suatu kerugian potensial lebih penting dari pada frekuensinya.

2.        Dalam menentukan kegawatan dari suatu kerugian potensial seorang Manajer Risiko harus secara cermat memperhitungkan semua tipe kerugian yang dapat terjadi, terutama dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap situasi finansial perusahaan.

3.        Dalam pengukuran kerugian Manajer Risiko juga harus memperhatikan orang, harta kekayaan atau exposures yang lain, yang tidak terkena peril.

4.        Kadang-kadang akibat akhir dari peril terhadap kondisi finansial perusahaan lebih parah dari pada yang diperhitungkan, antara lain akibat tidak diketahuinya atau tidak diperhitungkannya kerugian-kerugian tidak langsung.

5.        Dalam mengestimasi kegawatan dari suatu kerugian penting pula diperhatikan jangka waktu dari suatu kerugian, di samping nilai rupiahnya

             

Pengukuran frekuensi kerugian

Pengukuran frekuensi kerugian adalah untuk mengetahui berapa kali suatu jenis peril dapat menimpa suatu jeis objek yang bisa terkena peril selama suatu jangka waktu terentu, umumnya satu tahun.

Berdasarkan dimensi frekuensi, ada empat kategori kerugian, yaitu :

1.        Kerugian yang hampir tidak mungkin terjadi ( almost nill), yaitu resiko yang menurut pendapat manajer resiko atau kemungkinan terjadinya sangat kecil sekali (probabilitas terjadinya mendekati nol).

2.        Kerugian yang kemungkinan terjadinya kecil (sligth), yaitu risiko-risiko yang tidak akan terjadi dalam waktu dekat dan dimasa yang akan datang kemungkinannya pun kecil.

3.        Kerugian yang mungkin (moderate), yaitu kerugian-kerugian yang mungkin bisa terjadi dalam waktu yang dekat di masa yang akan datang.

4.        Kerugian yang mungkin sekali (definite), yaitu kerugian yang biasanya terjadi secara teratur, baik dalam waktu dekat maupun dimasa mendatang.

             

Pengukuran kegawatan kerugian

Pengukuran kerugian potensil dari dimensi kegawatan adalah untuk mengetahui berapa besarnya nilai kerugian, yang selanjutnya dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan, terutama kondisi finansialnya.

Dalam mengukur kegawatan kerugian potensil, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1.        Kemungkinan kerugian maksimum dari setip peril, yaitu besarnya kerugian terburuk dari suatu peril.

2.        Probabilitas kerugian maksimum dari setiap peril, yaitu merupakan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, yang besarnya lebih rendah dari kemungkinan kerugian maksimum.

3.        Keseluruhan (agregate) kerugian maksimum setiap tahunnya, yang merupakan keseluruhan kerugian total yang terbesar, yang dapat menimpa perusahaan selama satu periode (biasanya satu tahun)

 

Berdasarkan demensi kegawatannya ada empat kategori kerugian potensil, yaitu:

1.        Kemungkinan kerugian yang wajar (normal loss expectancy), yaitu kerugian-kerugian yang dapat dikelola sendiri oleh perusahaan ataupun oleh umum (perusahaan asuransi)

2.        Probabilitas kerugian maksimum (probable maximum loss), yaitu kerugian yang dapat terjadi bila alat pengaman terhadap peril tidak dapat berfungsi.

3.        Kerugian maksimum yang dapat diduga (maximum foreseeable loss), yaitu kerugian-kerugian yang tidak dapat diatasi secara individual.

4.        Kemungkinan kerugian maksimum (maximum possible loss), yaitu kerugian-kerugian yang tidak dapat diamankan, baik secara individual maupun secara umum (oleh perusahaan asuransi).

 

KONSEP PROBABILITAS

Pengukuran kerugian baik dari dimensi frekuensi dan kegawatan berhubungan dengan kemungkinan (probabilitas) dari kerugian potensiil tersebut. Untuk melakukan analisa terhadap kemungkinan dari suatu kerugian potensiil perlu memahami prinsip dasar teori probabilitas.

Probabilitas adalah kesempatan atau kemungkinan terjadinya suatu kejadian/ peristiwa.

a.    Konsep “sample space” dan “event”

Sample Space (Set S) merupakan suatu set dari kejadian tertentu yang diamati.  Misalnya: jumlah kecelakaan mobil di wilayah tertentu selama periode tertentu. Suatu Set S bisa terdiri dari beberapa segmen (sub set) atau event (Set E).  misalnya : jumlah kecelakaan mobil di atas terdiri dari segmen mobil pribadi & mobil penumpang umum.

Untuk menghitung secara cermat probabilitas dari kecelakaan mobil tersebut masingmasing Set E perlu diberi bobot.  Pembobotan tersebut biasanya didasarkan pada bukti empiris dari pengalaman masa lalu.  Misalnya :  untuk mobil pribadi diberi bobot 2, sedang untuk mobil penumpang umum diberi bobot 1, maka probabilitas dari kecelakaan mobil tersebut dapat dihitung dengan rumus:

1.      bila tanpa bobot  :  P  (E)  = E/S

2.      bila dengan bobot :  P (E) =            

 

Keterangan :           P (E)  =  probabilitas terjadinya event.

                                    E       =  sub set atau event

                                    S       =  sample space atau set

                                    W     =  bobot dari masing-masing event

 

b.    Asumsi dalam probabilitas

1.      Bahwa kejadian atau event tersebut akan terjadi.

2.      Bahwa kejadian-kejadian adalah saling pilah, artinya dua event tersebut (kecelakaan mobil pribadi dan mobil penumpang umum tidak akan terjadi secara bersamaan.

Asumsi diatas membawa kita pada “hukum penambahan” yang menyatakan bahwa total probabilitas dari 2 event atau lebih dari masing-masing event yang saling pilah tersebut.

3.      Bahwa pemberian bobot pada masing-masing event dalam set adalah positif, sebab besarnya probabilitas akan berkisar antara event yang pasti terjadi probabilitasnya 1, sedangkan event yang pasti tidak terjadi probabilitasnya 0.

 

c.    Panafsiran Tentang Probabilitas

Tafsiran yang pertama yaitu timbulnya tafsiran tentang probabilitas 1/10. Penafsiran tersebut berdasarkan :

1.      Misalnya saja gudang. Gudang yang dikatakan sama atau serupa pada kenyataannya tidak pernah persis serupa. Misalnya walaupun sama tetapi berbeda lokasi, konstruksinya dan perawatannya.

2.      Kondisi bisa berubah peninjauan  masa lalu itu menyediakan sebagaian dasar untuk suatu penafsiran probabilitas kerugian.

Penafsiran yang  kedua sangat berfaedah dalam menetapkan tindakan yang diambil berkenaan dengan exposure tersebut:

1.      Peristiwa yang saling pilah ( mutually exclusive event)

Dua peristiwa yang dikatakan saling pilah adalah apabila terjadinya peristiwa yang satu menyebabkan tidak terjadinya peristiwa yang lainnya

2.      Compound event Adalah terjadinya dua atau lebih peristiwa terpisah selama dalam jangka waktu yang sama.metode untuk menentukan suatu compound outcome tergantung atas apakah outcomes terpisah itu merupakan peristiwa yang bebas.

3.      Peristiwa bersyarat ( conditional outcomes ) Bagaimana jika dua peristiwa yang terpisah itu tidak bebas maka perhitungan compound probabilitas lebih rumit.

4.      Peristiwa yang insklusif, Misalkan  kita berhadapan dengan dua atau lebih peristiwa yang tidak mempounyai hubungan saling pilah dan kita menginginkan mengetahui probabiklitas terjadinya paling sedikit satuc peristiwa diantara dua peristiwa atau lebih itu. Jika peristiwa itu lebih dari dua maka proses perhitungannya lebih rumit. Maka dari itu disini akan disajikan hanya probabilitas  bahwa paling sedikit satu dari peristiowa tersebut itu yang akan terjadi.

Jika peristiwa A dan peristiwa B merupakan peristiwa yang terpisah, maka probabilitas terjadi paling sedikit satu peristiwa adalah jumlah kedua probabilitas terjadinya A atau B dikurangi dengan probabilitas terjadinya kedua peristiwa tersebut : P ( A atau B ) = P (A) + P (B) – P ( A atau B ).

 

d.    Aksioma Definisi Probabilitas

Probabilitas adalah suatu nilai/angka  yang besarnya berkisar antara 0 sampai 1, yang diberikan pada masing-masing event. Jumlah hasil penambahan keseluruhan  probabilitas dari event-event (Set E) yang saling pilah dalam sample space (Set S) adalah 1. Probabilitas suatu event yang terdiri dari sekelompok event yang saling pilah dalam suatu set (sample space) merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing probablitas yang terpisah.

 

e.    Nilai Harapan (Expected Value)

Expected value dari suatu event dapat ditentukan dengan membuat tabel (tabel binomial) untuk hasil-hasil yang mungkin diperoleh dari menilai masing-masing hasil tersebut berdasarkan probabilitasnya. Dengan menjumlahkan hasil dari masing-masing event akan diperoleh expected valuenya.

Contoh: diketahui bahwa dari 100 buah rumah kemungkinan terbakarnya satu rumah adalah 27% dan rata-rata kerugian untuk setiap kebakaran adalah Rp 100.000.000,-.

Maka expected lossnya adalah Rp 27.000.000,- (27% x Rp 100.000.000,-).

Bila kemungkinan terbakarnya dua rumah adalah 19%, maka expected lossnya: Rp. 38jt (19%x2xRp100.000.000,-). Sehingga expected loss untuk satu rumah sebesar Rp 19jt.

Kemudian bila kemungkinan terbakarnya sepuluh rumah adalah sebesar 1% maka expected lossnya adalah

     1% x 10 x Rp 100.000.000,- = Rp 10 jt

Maka expected loss untuk satu rumah sebesar Rp 1.000.000,-

Konsep expected value

Konsep expected value sering ditemui terutama di dunia bisnis.

Misalnya: seorang kontraktor diminta membangun sebuag gedung dimana jika semuanya berjalan baik ia akan mendapat keuntungan sebesar Rp 10.000.000.000,-

Karena menyadari selalu ada hal-hal yang tidak terduga, maka probabilitas utk mendapatkan keuntungan diperkirakan hanya 80%, dimana yang 20% adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga.

Jadi expected value dari pekerjaan tersebut sebesar Rp 6.000.000.000,-

 

 

Kasus Gagal Bayar Bakrie Life 

Kasus Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link Diamond Investa yang merupakan produk hibrida antara asuransi jiwa dengan investasi pasar modal (umumnya reksadana). Banyak nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena produk Diamond Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga deposito per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa. Sayang pemasaran produk asuransi unit-link ini kemudian bermasalah karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) diduga gagal membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai total mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut ditengarai disebabkan adanya penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Bakrie Life dianggap melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu banyak menempatkan portofolio reksadana pada saham-saham perusahaan grup Bakrie, sehingga ketika harga saham perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis global 2008 maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas. (Harian Sinar Harapan, 17 September 2009). 

 

Kronologis Peristiwa Kasus Gagal Bayar Bakrie Life  

Awalnya, kasus gagal bayar ini bermula dari krisis keuangan yang mendera pasar modal pada akhir 2008. Bakrie Life yang terlalu agresif dengan menempatkan 80% dana investasinya ke portofolio saham ternyata merugi investasi besar-besaran. Kondisi itu makin diperparah dengan redemption atau penarikan dana besar-besaran polis tradisional karena krisis kepercayaan pemegang polis di tengah krisis. Diamond Investa, salah satu produk Bakrie Life, memberikan janji imbal hasil atau return tinggi dan kemungkinan pemegang polis bisa dengan mudah menarik dananya saat masa garansi investasi habis tanpa terkena penalti. Imbasnya perseroan akhirnya tak mampu menambal kerugian investasi itu yang menyebabkan gagal bayar manfaat investasi produk asuransi itu mencapai Rp350 miliar sejak Juli 2009—Agustus 2009. Sekitar 600 nasabah, yang sebagian besar nasabah individu meminta pengembalian investasi mereka. Nasabahnya beragam mulai dari nasabah yang ‘menggadaikan’ uang dana pensiun milik orang tuanya hingga sengaja ‘memarkir’ dana milik saudara ke produk itu. Pemerintah, dalam hal ini Bapepam-LK—yang kini bertransformasi menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemegang saham lalu meminta manajemen Bakrie Life agar bernegosiasi dengan nasabah mengenai mekanisme penjadwalan ulang pembayaran dana. Sayang, hingga batas waktu negosiasi yang ditetapkan belum berhasil diperoleh kesepakatan penuh dengan 100% nasabah. Proses selanjutnya berjalan. Akhirnya diperoleh mekanisme baru yakni nasabah mendapatkan 25% pada 2010, 2011 diperoleh 25%, dan sisanya dibayarkan pada 2012, meski ada beberapa pemegang polis yang belum setuju. Skema itu juga memuat perjanjian mengenai bunga yang dibayar setiap bulan senilai 9,5%, yang akan dijalankan mulai triwulan I/2010. Bunga ini turun dari perjanjian semula sebesar 12%-13%. Nasabah produk Diamond Investasi ini sekitar 600 orang dengan total dana sekitar Rp350 miliar, seluruhnya berasal dari nasabah individu. Adapun nasabah produk asuransi tradisional Bakrie Life sebanyak 30.000 orang dengan total dana antara Rp175 miliar--Rp200 miliar. 

 

Kurangnya Tindakan Tegas Oleh Bapepam-LK

Mencuatnya kasus gagal bayar nasabah Bakrie Life, menurut Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK, disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti ketidakcermatan manajemen, kemungkinan terjadinya praktek pelanggaran usaha, kondisi ekonomi, dan penanganan saat krisis yang tidak tepat. Jika Bapepam-LK memang mengetahui penyebab kasus Bakrie Life, maka timbul pertanyaan mengapa Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas tidak berhasil mencegah munculnya kasus Bakrie Life. Bahkan, ketika kasus Bakrie Life benar-benar muncul ke permukaan, Bapepam-LK terkesan hanya mau menyerahkan penyelesaian kasus tersebut kepada Bakrie Life dan para nasabahnya. Para nasabah diminta menyelesaikan permasalahan sesuai polis, dan bila menemukan indikasi tindak pidana para nasabah disarankan melapor ke Kepolisian. Kasus Bakrie Life, dan juga kasus Antaboga Sekuritas, adalah contoh betapa lemahnya aspek pengawasan dan penindakan yang seharusnya dilakukan Bapepam-LK. Sebagai otoritas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank, Bapepam-LK berfungsi sebagai regulator dan pengawas yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Oleh karenanya, guna mengatasi hambatan penegakan hukum di sektor keuangan, Pemerintah dan DPR perlu membentuk lembaga pengawas independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) paling lambat 31 Desember 2010 sebagaimana amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia (UU 23/ 1999 juncto UU 3/ 2004). Pembentukan OJK akan mengambil alih fungsi pengawasan yang selama ini dijalankan BI dan Bapepam-LK. 

 

Perlunya Pembenahan Aturan Hukum

Kasus Bakrie Life juga memunculkan fakta adanya kelemahan dalam aturan hukum di bidang asuransi. Hal ini disebabkan UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian yang dibentuk pada masa Orde Baru belum pernah direvisi hingga saat ini, padahal UU Bank Indonesia dan UU Perbankan telah direvisi beberapa kali mengikuti perkembangan sosial-ekonomi-politik yang begitu cepat di era Reformasi.Pada saat pengajuan RUU bidang Keuangan pada tahun 2003, Pemerintah telah menyertakan RUU Otoritas Jasa Keuangan dan RUU untuk mengamandemen undang-undang bidang jasa finansial, seperti pasar modal, asuransi, dan dana pensiun. Tetapi, yang lolos menjadi UU hanya amandemen UU BI, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2004 dan yang lainnya sampai kini masih menyangkut di DPR. Dari segi infrastruktur, Pemerintah telah menyiapkan diri dengan memerger Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan Direktorat Lembaga Keuangan (DJLK) menjadi Bapepam-LK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.(Rijanta Triwahjana, 2008). Kelemahan aturan dalam UU 2/ 1992 meliputi 4 (empat) hal sebagai berikut : a) UU 2/ 1992 belum mencantumkan secara jelas peran Bapepam-LK sebagai otoritas regulator dan pengawas perusahaan asuransi di bawah kendali Menteri Keuangan. b) UU 2/ 1992 belum mengatur tentang pemasaran produk-produk asuransi hibrida. c) UU 2/ 1992 belum mengatur pembentukan lembaga penjamin dana nasabah asuransi. d) UU 2/ 1992 belum mengatur peran lembaga penjamin dana nasabah asuransi dalam upaya penyelamatan maupun kepailitan/ likuidasi perusahaan asuransi. Kelemahan pertama dapat diatasi dengan membuat UU tentang Bapepam-LK sehingga kedudukan Bapepam-LK lebih independen (tidak lagi di bawah Menteri Keuangan) sehingga kedudukannya setara dengan Bank Indonesia. DiAmerika Serikat, lembaga pengawas pasar modal dan pengawas perusahaan asuransi berdiri sendiri-sendiri dan berstatus independen karena tidak bertanggung-jawab kepada Menteri Keuangan. Kelemahan pertama ini juga dapat diatasi melalui pembentukan lembaga superbody seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang independen dan bertugas mengawasi seluruh perusahaan di sektor jasa keuangan. Pola pengawasan model OJK mirip dengan pola pengawasan yang diterapkan di Inggris.Kelemahan kedua dapat diatasi dengan merevisi UU 2/ 1992 dengan memasukkan aturan pemasaran produk asuransi hibrida serta ketentuan kerjasama pemasaran produk jasa keuangan. Ketentuan semacam ini diperlukan guna menjamin adanya kepastian dan perlindungan hukum, sehingga kegiatan tersebut tidak sampai merugikan nasabah asuransi seperti pada kasus Bakrie Life. Penempatan portofolio investasi dalam asuransi unit-link juga harus diatur dan dibatasi seperti halnya ketentuan BMPK di perbankan. Kelemahan ketiga dan keempat dapat diatasi dengan membuat aturan pembentukan lembaga penjaminan dana nasabah asuransi, yaitu lembaga yang cara kerjanya mirip LPS. Pembentukan lembaga ini dapat diatur dalam bentuk UU tersendiri, atau dalam bentuk amandemen UU 2/ 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti LPS, lembaga ini sebaiknya juga diberi peran sebagai penyelamat maupun likuidator perusahaan asuransi bermasalah. Jika Pemerintah dan DPR lebih memilih opsi pembentukan OJK, maka peran lembaga ini cukup sebatas melakukan usaha penjaminan dana nasabah asuransi. 

 

Prinsip Manajemen Risiko Menurut ISO:31000

ISO 31000 adalah suatu standar implementasi manajemen risiko yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization pada tanggal 13 November 2009. Standar ini ditujukan untuk dapat diterapkan dan disesuaikan untuk semua jenis organisasi dengan memberikan struktur dan pedoman yang berlaku generik terhadap semua operasi yang terkait dengan manajemen risiko. Menurut ISO 31000, manajemen risiko suatu organisasi harus mengikuti 11 prinsip dasar agar dapat dilaksanakan secara efektif.

Berikut penjabaran prinsip-prinsip tersebut.

1.    Manajemen risiko menciptakan nilai tambah (creates value)

Manajemen risiko berkontribusi terhadap pencapaian nyata objektif dan peningkatan, antara lain, kesehatan dan keselamatan manusia, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, penerimaan publik, perlindungan lingkungan, kinerja keuangan, kualitas produk, efisiensi operasi, serta tata kelola dan reputasi perusahaan.

2.    Manajemen risiko adalah bagian integral proses dalam organisasi (an integral part of organizational processes)

Manajemen risiko adalah bagian tanggung jawab manajemen dan merupakan suatu bagian integral dalam proses normal organisasi seperti juga merupakan bagian dari seluruh proses proyek dan manajemen perubahan. Manajemen risiko bukanlah merupakan aktivitas yang berdiri sendiri yang terpisah dari aktivitas-aktivitas utama dan proses dalam organisasi.

 

3.    Manajemen risiko adalah bagian dari pengambilan keputusan (part of decision making)

Manajemen risiko membantu pengambil keputusan mengambil keputusan dengan informasi yang cukup. Manajemen risiko dapat membantu memprioritaskan tindakan dan membedakan berbagai pilihan alternatif tindakan. Pada akhirnya, manajemen risiko dapat membantu memutuskan apakah suatu risiko dapat diterima atau apakah suatu penanganan risiko telah memadai dan efektif.

4.    Manajemen risiko secara eksplisit menangani ketidakpastian (explicitly addresses uncertainty)

Manajemen risiko menangani aspek-aspek ketidakpastian dalam pengambilan keputusan, sifat alami dari ketidakpastian itu, dan bagaimana menanganinya.

5.    Manajemen risiko bersifat sistematis, terstruktur, dan tepat waktu (systematic, structured and timely)

Suatu pendekatan sistematis, tepat waktu, dan terstruktur terhadap manajemen risiko memiliki kontribusi terhadap efisiensi dan hasil yang konsisten, dapat dibandingkan, serta andal.

6.    Manajemen risiko berdasarkan informasi terbaik yang tersedia (based on the best available information)

Masukan untuk proses pengelolaan risiko didasarkan oleh sumber informasi seperti pengalaman, umpan balik, pengamatan, prakiraan, dan pertimbangan pakar. Meskipun demikian, pengambil keputusan harus terinformasi dan harus mempertimbangkan segala keterbatasan data atau model yang digunakan atau kemungkinan perbedaan pendapat antar pakar.

7.    Manajemen risiko dibuat sesuai kebutuhan (tailored)

Manajemen risiko diselaraskan dengan konteks eksternal dan internal organisasi serta profil risikonya.

8.    Manajemen risiko memperhitungkan faktor manusia dan budaya (takes human and cultural factors into account)

Manajemen risiko organisasi mengakui kapabilitas, persepsi, dan tujuan pihak- pihak eksternal dan internal yang dapat mendukung atau malah menghambat pencapaian tujuan organisasi.

 

9.    Manajemen risiko bersifat transparan dan inklusif (transparent and inclusive)

Pelibatan para pemangku kepentingan, terutama pengambil keputusan, dengan sesuai dan tepat waktu pada semua tingkatan organisasi, memastikan manajemen risiko tetap relevan dan mengikuti perkembangan. Pelibatan ini juga memungkinkan pemangku kepentingan untuk cukup terwakili dan diperhitungkan sudut pandangnya dalam menentukan kriteria risiko.

10. Manajemen risiko bersifat dinamis, iteratif, dan responsif terhadap perubahan (dynamic, iterative and responsive to change)

Seiring dengan timbulnya peristiwa internal dan eksternal, perubahan konteks dan pengetahuan, serta diterapkannya pemantauan dan peninjauan, risiko-risiko baru bermunculan, sedangkan yang ada bisa berubah atau hilang. Karenanya, suatu organisasi harus memastikan bahwa manajemen risiko terus menerus memantau dan menanggapi perubahan.

11. Manajemen risiko memfasilitasi perbaikan dan pengembangan berkelanjutan organisasi (facilitates continual improvement and enhancement of the organization)

Organisasi harus mengembangkan dan mengimplementasikan strategi untuk memperbaiki kematangan manajemen risiko mereka bersama aspek-aspek lain dalam organisasi mereka.

 

Prinsip – Prinsip Manajemen Risiko

1.    Transparansi

Prinsip ini mensyaratkan agar seluruh potensi risiko yang ada pada suatu aktivitas, khususnya transaksi, dibeberkan secara terbuka. Risiko yang tersembunyi/disembunyikan akan menjadi sumber permasalahan terbesar dan, per definisi, tidak akan dapat dikelola dengan baik.

 

2.    Pengukuran yang Akurat

Prinsip ini mewakili sisi sains dari konsep Manajemen Risiko, dan mensyaratkan investasi berkesinambungan untuk berbagai teknik dan alat yang akan digunakan sebagai syarat dari proses Manajemen Risiko yang kuat.

3.    Informasi Berkualitas yang Tepat Waktu

Prinsip ini akan turut menentukan akurasi pengukuran dan kualitas keputusan yang diambil. Sebaliknya tidak terpenuhinya prinsip ini bisa membawa manajemen pada suatu keputusan yang berisiko fatal.

 

4.    Diversifikasi

Sistem Manajemen Risiko yang baik menempatkan konsep diversifikasi sebagai sesuatu yang penting untuk dicermati. Hal ini menuntut pola pemantauan yang konstan dan konsisten. Asumsinya adalah bahwa konsentrasi (Risiko) dapat muncul setiap saat seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi di dunia.

 

5.    Independensi

Berdasarkan prinsip independensi, keberadaan suatu kelompok Manajemen Risiko yang independen makin dianggap sebagai suatu keharusan. Prinsip ini tidak sekedar berbicara tentang kewenangan dan level tanggung jawab dari kelompok Manajemen Risiko dan kelompok/unit lainnya dalam perusahaan, melainkan juga tentang tentang visi perusahaan dan kualitas interrelasi antara kelompok Manajemen Risiko dengan kelompok/unit lainnya, dan juga antar kelompok/unit yang melaksanakan transaksi dengan mengambil risiko tertentu.

 

6.    Pola Keputusan yang Disiplin

Porsi sains dalam konsep Manajemen Risiko memang telah memberikan banyak kontribusi bagi kemampuan Manajemen Risiko dalam melakukan pengukuran risiko namun kualitas keputusan tetap saja tergantung pada bagaimana manajemen memutuskan cara terbaik untuk menggunakan alat/teknik tertentu dan memahami keterbatasan yang dimiliki oleh alat/teknik tersebut.

 

 

 

 

 

7.    Kebijakan

Prinsip ini mensyaratkan bahwa tujuan dan strategi Manajemen Risiko suatu perusahaan harus dirumuskan dalam sebuah Policy, Manual & Procedure yang jelas. Policy harus secara jelas menjabarkan dan mendefiniskan filosofi Manajemen Risiko perusahaan dan menyediakan keseluruhan pendekatan yang digunakan serta organisasi dari proses pengambilan Risiko. Tujuan utama dari hal tersebut adalah untuk memberikan kejelasan mengenai proses Manajemen Risiko, baik untuk pihak internal maupun untuk pihak eksternal seperti regulator dan para analis.

 

Prinsip-prinsip tersebut di atas akan menjadi penentu arah dalam menyusun suatu kerangka kerja, suatu model Manajemen Risiko yang handal. Lebih jauh, prinsip-prinsip tersebut juga akan menjadi penentu keberhasilan dari penerapan model Manajemen Risiko dalam suatu perusahaan. Tanpa pemahaman mendalam serta konsistensi dalam menggunakan prinsip-prinsip tersebut, maka penyusunan dan penerapan suatu model Manajemen Risiko tidak akan memberikan nilai tambah yang seharusnya dapat diperoleh.